Kabupaten Aceh Besar memprakarsai penetapan mukim di Aceh Besar sebagai masyarakat hukum adat, antara lain bertujuan untuk mempercepat implementasi penatausahaan tanah ulayat masyarakat hukum adat yang masuk dalam program prioritas nasional serta Rencana Strategis Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional tahun 2021-2024.

Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu Kabupaten di Indonesia yang menjadi lokasi prioritas penatausahaan tanah ulayat tahun 2024. Bagi MAA Kabupaten Aceh Besar upaya mendorong penetapan mukim mukim di Aceh Besar sebagai masyarakat hukum adat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari program penguatan mukim yang dijalankan sejak tahun 2021. Melalui program penguatan mukim ini antara lain telah melahirkan beberapa produk seperti: 1) Pemetaan Wilayah Adat Mukim beserta dokumen pemetaan; 2) Peraturan Bupati Aceh Besar Nomor 17 Tahun 2022 tentang Penataan Wilayah Adat Mukim dan Harta Kekayaan Mukim; dan terbaru 3) Keputusan Bupati Aceh Besar Nomor 224 Tahun 2024 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Mukim dalam wilayah Kabupaten Aceh Besar.

Dalam Keputusan Bupati tahun 2024 menetapkan sebanyak 68 mukim yang di Aceh besar sebagai masyarakat hukum adat oleh Penjabat (Pj) Bupati Aceh Besar Muhammad Iswanto. Keputusan bupati yang ditandatangi pada tanggal 16 April 2024 (7 Syawal 1445 H) tersebut mencatat pengakuan terhadap 68 mukim yang tersebar dalam 23 kecamatan di wilayah hukum aceh besar sesuai dengan lampiran pada keputusan tersebut.

Pj Bupati Aceh besar muhammad iswanto dalam rilis di Serambi Jumat (26/04/2024) menyatakan “Kita harap ini menjadi kekuatan dan pengakuan hukum dalam pemerintahan di wilayah kemukiman, Kita berharap Mukim dapat menjalankan kewenangannya sebagaimana diatur dalam undang-undang’.

Sementara itu, Ketua MAA Aceh Besar yang pernah menjabat sebagai Mukim Siem, Asnawi Zainun mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Aceh Besar telah mengakomodir pengakuan dan perlindungan 68 Mukim di Aceh Besar sebagai Masyarakat Hukum Adat melalui surat keputusan Bupati. Ia mengatakan, Imeum Mukim dari 68 Mukim di Aceh Besar yang mendapatkan pengakuan secara tegas dan spesifik sebagai Masyarakat Hukum Adat melalui keputusan Bupati Aceh Besar ini.

Sebagai langkah kongkrit percepatan pengakuan wilayah adat mukim di Aceh Besar, pada tahun 2021 terdokumentasi enam wilayah mukim yakni Mukim Slang Mee dan Mukim Glee Bruek Kecamatan Lhoong, Mukim Lamlhom dan Lhoknga Kecamatan Lhoknga, serta Mukim Lampanah dan Lamkabeue Kecamatan Seulimeum. Pendokumentasian wilayah adat dan potensinya ini diharapkan dapat menjadi model bagi masyarakat adat mukim lainnya di Aceh Besar dan Aceh secara keseluruhan.

Menurutnya perlu ada komitmen yang kuat untuk menjalankan kehidupan adat dan adat-istiadat termasuk dalam pengelolaan Sumber Daya Alam secara adat sesuai kewenangan yang diatur peraturan-perundangan. “Tentu dengan tetap mengedepankan pendekatan koordinasi dan semangat sinergitas, dengan gampong-gampong dalam wilayah Mukim dan juga dengan Kecamatan setempat,” kata Asnawi.

Lebih jauh Asnawi Zainun menegaskan, MAA Kabupaten Aceh Besar sebagai lembaga kekhususan dan keistimewaan Aceh yang memegang mandat sebagai lembaga pembina kehidupan adat dan adat-istiadat di Kabupaten Aceh Besar.

Dimana sesuai dengan Qanun Aceh Besar Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Adat Aceh Kabupaten Aceh Besar. “MAA Aceh Besar akan mendukung Pemerintah Kabupaten Aceh Besar untuk melindungi dan memberdayakan seluruh aspek kehidupan masyarakat hukum adat mukim,”

Berdasarkan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 92 Tahun 2019 tentang Pedoman Umum Penataan Mukim di Aceh menjelaskan Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum di bawah Kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin oleh Imeum Mukim atau nama lain dan berkedudukan langsung di bawah camat, Pemerintahan Mukim adalah unit pemerintahan yang dipimpin oleh Imuem Mukim dengan membawahi beberapa Gampong yang berada langsung di bawah dan bertanggung jawab kepada Camat, dan Imeum Mukim atau nama lain yang selanjutnya disebut Imuem Mukim adalah Kepala Pemerintahan Mukim.

Mukim sebagai salah satu bentuk pemerintahan di Aceh diakui keberadaannya dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Penataan Mukim bertujuan: a. meningkatkan penyelenggaraan Pemerintahan Mukim; b. akselerasi koordinasi pembangunan; c. penyelenggaraan adat dan adat istiadat; dan d. peningkatan pelayanan kepada masyarakat secara berdaya guna dan berhasil guna sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemajuan pembangunan serta aktualisasi nilai adat istiadat ke-Aceh-an yang Islami.

lmuem Mukim bertugas merencanakan program kerja kemukiman, Melaksanakan program kerja kemukiman, Memimpin dan menyelenggarakan rapat di tingkat mukim, bertanggung jawab atas pelaksanaan pemerintahan mukim, Mediator penyelesaian sengketa antar gampong, Membantu peningkatan kualitas syariat Islam, Melakukan koordinasi dengan keuchik.

lmeum Chiek bertugas Mengurus, memimpin dan melaksanakan kegiatan yang berkenaan dengan kemakmuran masjid dan Mengkoordinasikan kegiatan keagamaan, peningkatan peribadatan serta pelaksanaan syariat islam dalam masyarakat.

Tuha Peut Mukim bertugas Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan program kemukiman, menilai dan menerima atau menolak laporan pertanggungjawaban mukim, Melakukan pengawasan terhadap praktek pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan oleh mukim dalam wilayah kemukimannya dan bersama lmuem Mukim, Keuchik, lmuem Chiek, dan tokoh pemuda/pemudi menyelesaikan.

Mekanisme pengambilan keputusan di tingkat mukim dilakukan melalui proses Duek Pakat (musyawarah). Duek Pakat terbagi menjadi dua tingkatan: Duek Pakat dilaksanakan di Meunasah (tingkat gampong) membicarakan hal-hal tentang yang meliputi Maulid, Kanduri, Puasa, Penyelesaian sengketa, dll dan Duek Pakat di tingkat mukim dilaksanakan di masjid atau di tempat lain yang yang dilaksanakan di tingkat mukim untuk membicarakan hal-hal terkait pembangunan masjid dan atau persoalan lainnya yang melibatkan antar gampong.(RS)